Beranda | Artikel
Ciri-Ciri Ahlussunnah wal Jamaah (Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.)
Selasa, 24 April 2018

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam

Ciri-Ciri Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh: Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. yang disampaikan secara langsung dari Masjid Baiturrahman Icakan, Ciamis. Disampaikan pada Jumat Malam , 13 Jumadil awal 1439 H / 30 Januari 2018 M.

Ceramah Agama Islam Tentang Ciri-Ciri Ahlussunnah wal Jama’ah

Pada kajian kali ini dibahas tentang keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh Ahlussunnah wal Jama’ah. Adapun definisi Ahlussunnah wal Jama’ah  adalah terdiri dari tiga suku kata. Yaitu Ahlu, Sunnah dan Jama’ah.

Seseorang disebut Ahlussunnah wal Jama’ah karena mereka senantiasa berpegang kepada sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sunnah secara bahasa berarti tata cara. Adapun sunnah secara istilah adalah semua yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ajarkan. Dimana sunnah ini merupakan dasar Islam. Sunnah berfungsi menjelaskan Al-Qur’an. Oleh karena itu jika ada yang berkata bahwa kita tidak membutuhkan sunnah dan mencukupkan diri dengan Al-Qur’an, maka bagaimana kita akan dapat memahami Al-Qur’an? Apakah ada dalam Al-Qur’an yang menjelaskan jumlah rakaat dalam shalat dan lain sebagainya?

Maka orang yang menolak sunnah, berarti dia sudah menolak Al-Qur’an. Bahkan dia sudah menolak Islam secara keseluruhan. Bagi Ahlussunnah wal Jama’ah, Al-Qur’an dan Sunnah adalah segala-galanya. Al-Qur’an dan Sunnah diatas ucapan manusia. Hal ini dikarenakan bahwa firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah wahyu. Sedangkan wahyu adalah lebih tinggi dari pada pendapat manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّـهِ وَرَسُولِهِ ۖ …

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya…” (QS. Al-Hujurat[49]:1)

Dalam ayat ini kita dilarang untuk mendahului Allah dan RasulNya. Kata Ibnu Abbas, maksudnya adalah bahwa jangan sampai kita mengucapkan kata-kata yang tidak sesuai dengan firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ ﴿٢﴾

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al-Hujurat[49]:2)

Lihatlah, jika mengangkat suara melebihi suara Rasul saja bisa membatalkan amal, bagaimana kalau kita mengangkat pendapat kita atau pendapat seseorang diatas pendapat Rasul?

Maka dari itulah, kita Ahlussunnah wal Jama’ah dan siapapun Ahlussunnah wal Jama’ah tidak boleh mendahulukan ucapan siapapun diatas ucapan Allah dan RasulNya. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, mempunyai nasihat-nasihat agar berpegang kepada sunnah. Sampai beliau rahimahullah mengatakan, “apabila kalian mendapatkan dalam buku saya ini pendapat yang bertabrakan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka yang kalian harus ambil adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Buang jauh-jauh pendapatku”.

Imam Syafi’i rahimahullah memberikan bimbingan kepada kita. Bahwa jika ucapan Imam Syafi’i bertabrakan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka yang harus kita dahulukan adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa SallamJika Imam Syafi’i saja mengatakan demikian, apalagi ucapan yang dibawah beliau rahimahullah.

Dalam hal ini, bukan berarti kita tidak butuh ulama’. Kita membutuhkan ulama karena ulama yang paling tahu tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Tapi ulama bukan dijadikan alat untuk menolak Al-Qur’an dan Hadits. Ulama adalah wasilah untuk memahami Al-Qur’an dan hadits. Ulama bukan tujuan. Sementara banyak diantara kita menjadikan ulama sebagai tujuan. Seakan-akan ucapan ulama tidak mungkin salah.

Imam Syafi’i dikenal sebagai pembela hadits. Dan memang demikianlah hakikat Ahlussunnah wal Jama’ah. Siapapun yang mengaku dirinya Ahlussunnah wal Jama’ah, maka dirinya harus cinta sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jangan ngaku Ahlussunnah wal Jama’ah jika masih benci dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Ahlussunnah wal Jama’ah Mencintai Sunnah

Jangan ngaku Ahlussunnah wal Jama’ah tapi ketika melihat orang menjalankan sunnah seperti ada yang aneh. Melihat orang berjenggot, menuduh teroris. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan untuk berjenggot. Kalaupun kita tidak berjenggot setidaknya kita tidak membenci orang yang berjenggot.

Melihat orang yang cingkarang, “banjir di mana Kang?” Padahal yang menganjurkan untuk diatas mata kaki adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Rasulullah bersabda:

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزار فَفِي النَّار

“Apa-apa yang melebihi mata kaki dari kain maka tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari)

Utsman bin Affan ketika keluar rumah sarungnya di pertengahan betis. Lalu Utsman berkata, “Beginilah dulu Rasul berpakaian.” Sementara kita melihat yang cingkrang, melotot dan merasa aneh.  Saudaraku, itu ajaran Rasul.

Melihat perempuan bercadar merasa aneh. Kenapa Pak? Karena dimasyarakat kita yang namanya cadar hampir tidak ada. Sehingga ketika melihat yang bercadar, mereka mengolok-oloknya seperti ninja. Padahal cadar itu dianjurkan oleh Rasul. Bahkan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy’ari, beliau termasuk yang mewajibkan cadar.

Maka dari itulah saudara-saudaraku sekalian, kalau kita ngaku Ahlussunnah wal Jama’ah, kita harus cinta sunnah, kita berusaha untuk menghidupkan sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika demikian baru disebut Ahlussunnah wal Jama’ah. Jangan ngaku Ahlussunnah wal Jama’ah kalau masih benci sama sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jangan ngaku Ahlussunnah wal Jama’ah kalau ternyata perbuatan kita masih sangat jauh daripada sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Lalu apa yang dimaksud (الجماعة) Al-Jama’ah?

Al-Jama’ah dalam bahasa Arab dari kata jama’a yajma’u artinya mengumpulkan. Secara bahasa, jama’ah itu artinya perkumpulan. Adapun secara istilah, ditafsirkan oleh Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunannya, demikian pula Al-Hakim dalam Mustadraknya ketika Rasulullah mengajarkan umat Islam berpecah belah menjadi 73 golongan. Rasulullah mengabarkan yang selamat hanya satu. Yaitu mereka adalah Al-Jama’ah. Siapa mereka Al-Jama’ah? Kata Rasulullah:

ما أنا عليه وأصحابي

“Yang aku dan para Sahabatku diatasnya.”

Jadi Al-Jama’ah ditafsirkan oleh Rasulullah, “Yang aku dan para Sahabatku diatasnya.” Berarti kita atau siapapun yang mengaku dirinya Ahlussunnah wal Jama’ah harus mengikuti para Sahabat. Kenapa para Sahabat? Karena para Sahabat generasi yang terbaik. Wajib diyakini, satu-satunya generasi yang dipuji oleh Allah dalam Al-Qur’an adalah para Sahabat.

Allah Ta’ala berfirman dalam surat At-Taubah:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّـهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٠٠﴾

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah[9]: 100)

Makanya Imam Syafi’i termasuk ulama yang paling keras dalam masalah berpegang kepada pemahaman Sahabat. Rabi’ bin Sulaiman, murid Imam Syafi’i meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i berkata, “Allah telah memuji para Sahabat dalam Al-Qur’an dan melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan mereka para Sahabat diatas kita (Imam Syafi’i) dalam setiap ilmu akal pemahaman agama, ijtihad, istimbat, dan istidrak. Pendapat mereka lebih terpuji untuk kita dan lebih layak untuk kita ikuti daripada pendapat kita sendiri.”

Bayangkan kalau Imam Syafi’i saja berkata demikian, bagaimana dengan kita? Bahkan dalam kitab beliau yang berjudul Ar-Risalah, demikian pula kitab Imam Syafi’i yang berjudul Jima’ul Ilmi, beliau memberikan sebuah kaidah, “Apabila seorang Sahabat berpendapat dan ternyata tidak ada Sahabat lain yang menyeleksi Sahabat ini, maka menurut kami itu hujjah.”

Sampai demikian Imam Syafi’i rahimahullah. Maka dari itulah muridnya Imam Syafi’i yang bernama Imam Ahmad mengikuti jejak kaki Imam Syafi’i. Imam Ahmad berkaitan dengan kitab beliau bahwa diantara pokok sunnah disisi kami adalah berpegang kepada apa yang dipegang oleh para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Imam Syafi’i pun juga mengambil dari gurunya, Imam Malik. Dimana Imam Malik juga menyuruh untuk kembali kepada pemahaman para Sahabat. Karena mereka yang menyaksikan wahyu turun. Al-Qur’an dan hadits bahasanya mereka sehari-hari. Mereka melihat Rasulullah mempraktekkan langsung Al-Qur’an dan hadits. Mereka mendengar langsung penafsiran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tentu mereka lebih tahu dari kita.

Tentu para Sahabat lebih paham tentang agama dari pada kita. Maka pemahaman siapapun yang tidak mengikuti pemahaman para Sahabat, menyimpang. Siapapun yang tidak sesuai dengan apa yang dipahami oleh para Sahabat tersesat jalan.

Berarti Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mereka yang berpegang kepada sunnah Rasul dan berpegang kepada pemahaman para Sahabat Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Seluruh ulama mazhab dari Imam yang empat sepakat dasar ini. Baik mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali, semua sepakat merujuk pemahaman para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Inilah yang disebut dengan Ahlussunnah wal Jama’ah. Jadi kalau ada orang mengaku, “Aswaja”, Ahlussunnah wal Jama’ah, maaf ini bukan sebatas pengakuan.

Siapapun yang mengaku Aswaja Ahlussunnah wal Jama’ah harus dilihat bagaimana aqidahnya, ibadahnya, akhlaknya, muamalahnya, apakah sesuai dengan sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Apakah sesuai dengan pemahaman para Sahabat Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam?

Kapan munculnya penamaan Ahlussunnah?

Dizaman Rasul, belum ada penamaan itu. Zaman Rasul adanya muslim, Islam. Allah berfirman:

…هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ…

“…Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian kaum muslim…” (QS. Al-Hajj[22]: 78)

Kenapa? Karena dizaman Rasul belum muncul perpecahan, perbedaan ‘aqidah belum ada, semuanya rujuk kepada Rasul. Dizaman Sahabat, terutama dizaman Abu Bakar, Umar, Utsman. Tapi diakhir-akhir zaman Utsman, mulai ada orang Yahudi pura-pura masuk Islam. Namanya Abdullah bin Saba’.

Pada saat itu, Islam memiliki kekuatan super power, negara adikuasa dizaman itu Persia dan Romawi hancur oleh Islam. Mereka tidak mungkin menghancurkan Islam melalui fisik, mereka berpikir bagaimana menghancurkan Islam melalui pemikiran. Maka Abdullah bin Saba’ pura-pura masuk Islam, memperlihatkan keshalihan, ibadah, supaya dipercayai oleh kaum muslimin.

Setelah dia mendapatkan simpati dari kaum muslimin, mulai dia berpikir bagaimana merusak Islam. Maka dia membuat sebuah konspirasi, dia ingin menghancurkan Utsman bin Affan. Dia membuat provokasi. Utsman bin Affan dituduh nepotisme, mendzolimi Ummahatul Mukminin dan berbagai macam tuduhan-tuduhan yang lain terhadap Utsman bin Affan.

Abdullah bin Saba’ memilih tempat di Kufah dan Basrah. Karena ini dua tempat yang baru dikuasai Islam dan penduduknya baru masuk Islam. Biasanya kalau baru masuk Islam imannya juga masih setengah-setengah. Dipilih tempat itu dan disebarkan fitnah. Bergejolaklah di situ, marahlah mereka kepada Utsman bin Affan, datang mendemo Usman meminta agar Utsman turun jabatan.

Utsman menjelaskan bahwa itu bohong. Pergilah mereka, tapi di tengah jalan ada surat yang didustakan atas Ummul Mukminin ‘Aisyah berstempel ‘Aisyah. Surat itu berisi perintah untuk membunuh Utsman. Kemudian mereka kembali lagi ke Kota Madinah mengepung rumah Utsman selama dua puluh hari dan berhasil membunuh Utsman.

Konspirasi Yahudi ini berhasil. Tidak berhenti sampai situ, Abdullah bin Saba’ menebarkan pemikiran bahwa katanya yang berhak menjadi Khalifah setelah Rasulullah itu sebetulnya Ali bin Abi Thalib. Abu Bakar dan Umar itu sudah mendzalimi Ali bin Abi Thalib. Bahkan tidak sampai disitu, Abdullah bin Saba’ sampai mengatakan bahwa Jibril salah alamat. Seharusnya ke Ali, bukan kembali kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bukan sampai disitu saja, kelompok Abdullah bin Saba’ ini mengklaim bahwa Ali sebetulnya Tuhan.

Kelompok saba’iyyah ini mempertuhankan Ali. Maka dizaman Ali bin Abi Thalib, Ali menangkap kelompok sabar Ayah ini papa silakan kisahnya disebutkan oleh kasir dan kitab beliau Al Bidayah Wan Nihayah

Al Imam An Nasa’i dalam sunannya juga menyebutkan sebagian kisahnya di mana Ali bin Abi Tholib menangkapi kelompok saba’iyyah ini. Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah. Al-Imam An-Nasa’i juga menyebutkan sebagian kisahnya. Dimana Ali bin Abi Thalib menangkap kelompok saba’iyyah. Setelah ditangkap, Ali bertannya, “Kenapa kalian itu?” Mereka berkata, “Kami meyakini bahwa engkau adalah Tuhan Pencipta langit dan bumi, pengatur alam semesta.” Ali marah dan berkata, “Kalau kalian tidak bertaubat, aku akan bakar kalian.”  Mereka berkata, “Kami semakin beriman bahwa engkau Tuhan karena tidak ada yang mengadzab dengan api kecuali Tuhan.” Akhirnya kelompok saba’iyyah dibakar hidup-hidup oleh Ali bin Abi Thalib.

Setelah muncuk kelompok yang mempertuhankan Ali, muncul lagi kemelut perang antara pasukan Muawiyyah dan Ali. Bukan Muawiyah ingin memberontak. Tapi Muawiyyah hanya ingin mengirim pasukan untuk membalas dendam terhadap para pembunuh Utsman bin Affan. Ketika Ali mendengar Muawiyyah mengirimkan pasukan, Ali jaga-jaga juga sehingga dikirim lagi pasukan. Tapi provokator kembali. Akhirnya terjadilah perang.

Dan Subhanallah, perang antara Ali dan Muawiyyah disebut oleh para ulama sebagai perang terindah di dunia. Ketika lagi perang, shalat berhenti dulu lalu mereka shalat secara berjamaah. Subhanallah..

Mulailah kelompok-kelompok yang ingin merusak Islam muncul. Belum lagi pemikiran-pemikiran syi’ah muncul, khawarij muncul. Ketika antara Ali dan Muawiyyah terjadi perdamaian, memisahkan dirilah sekitar 12.000 orang di Harura. Mereka disebut dengan kelompok haruriyyah. Disebut khawarij. Mereka mengkafirkan Ali, mengkafirkan Muawiyyah dan mengkafirkan pengikut-pengikutnya.

Mereka mengkafirkan karena hanya Ali mengirimkan Abu Musa Al Asy’ari sebagai utusan dalam perdamaian, Muawiyyah mengirim Amr bin Al-‘Ash sebagai utusan. Lalu orang khawarij berkata bahwa Ali menyerahkan hukum pada manusia, juga Muawiyyah menyerahkan hukum kepada manusia. Bukankah Allah berfirman bahwa hukum hanya milik Allah? Berarti Ali tidak berhukum dengan hukum Allah. Sementara Allah mengatakan:

…وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّـهُ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴿٤٤﴾

“…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah[5]: 44)

Lalu mereka menyimpulkan bahwa berarti Ali dan Muawiyyah telah kafir, juga orang-orang yang tidak mau mengkafirkan orang kafir berarti dia juga kafir. Orang kafir halal darahnya. Mereka berkumpul di Harura.

Tadinya mereka belum membuat onar. Maka sama Ali bin Abi Thalib dibiarkan. Tapi ketika mereka sudah mulai berbuat keonaran, mulailah Ali bermusyawarah dengan para Sahabat. Lalu para Sahabat yakin bahwa ini adalah khawarij yang dimaksud oleh Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Namun Ibnu ‘Abbas meminta izin kepada Amirul Mukminin untuk mendatangi dan berdebat dengan mereka. Ibnu ‘Abbas datang dengan memakai pakaian yang bagus. Lalu Ibnu ‘Abbas berkata:

Simak kisahnya pada menit ke 32:17

Simak Penjelasan Lengkapnya dan Download mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Ciri-Ciri Ahlussunnah Wal Jama’ah



Artikel asli: https://www.radiorodja.com/30905-ciri-ciri-ahlussunnah-wal-jamaah-ustadz-abu-yahya-badrusalam-lc/